Jumat, 16 Maret 2012

15. Jawaban Gugatan : Orang Tuan Nabi Muhamad Disiksa Dalam Neraka





Status Abdullah di akhirat kelak, termasuk ahli surga atau neraka? Tercatat dua kubu besar ulama yang berselisih tentang statusnya di akhirat:

Pendapat Pertama

Kubu pertama percaya bahwa bapak dan ibu nabi ini akan menjadi penghuni neraka. Salah satu dalil yang dipakai dalam menghukumi kedua orang tua nabi ini adalah hadits nabi yang diriwayatkan oleh Al-Bazzar, At-Thabroni, dan Al-Bayhaqi, dengan lafadz dari Ma’mar:

“Seorang arab bertanya kepada nabi, “di mana bapakku?”. Jawab nabi, “di neraka?”. “Lalu di mana bapakkmu?” tanya orang arab itu lagi. ”Ketika kamu melewati kubur seorang kafir, maka sesungguhnya dia langsung berada di neraka” sanad hadits ini shahih menurut syarat syaikhani; Bukhori-Muslim [Sunan Ibnu Majah: Bab Janaiz, hal.105]. Al-Baihaqi dan At-Thabroni menambahkan, setelah menanyakan hal tersebut, orang Arab tadi langsung masuk Islam. Untuk sedikit perenungan, lafadz-lafadz hadits yang menyebutkan ayah dan ibu nabi berada di neraka bertentangan dengan spirit ayat yang artinya:

Al-Isra: 15 “Dan Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” Jadi bisa disimpulkan, sebelum turunnya perintah dan larangan tidak ada keburukan yang akan dikenakan adzab (sangsi), kecuali setelah Allah mengutus rasul-rasul yang membawa Syari’at-Nya. Bahkan jumhur ulama bersepakat ayat ini me-nasakh [menghapus] semua hadits yang berhubungan dengan permasalahan tadi ataupun sejenisnya, seperti hadits tentang status balita-balita dari kaum Musyrikin.

Pendapat Kedua

Kubu kedua meyakini bahwa orang tua nabi termasuk ahli surga. Muhammad Fauzi hamzah dalam “Abdullah abun-nabi”-nya mengutarakan sebab dikategorikannya orang tua nabi termasuk ahli surga:

1] Karena mereka tergolong ahlu fathroh yang hidup diantara dua masa kerasulan. Dakwah nabi yang pertama tidak sampai pada mereka, dan dakwah nabi yang kedua sama sekali belum diketahui, sebab ajal terlebih dahulu menjemput nyawa mereka. Dalam hadits nabi yang diriwayatkan oleh sahabat Al-Aswad bin Sari’ RA menyebutkan: 4 macam golongan manusia yang protes pada hari kiamat: 1] Seorang tuna rungu yang tidak mendengar sama sekali, 2] Orang bodoh, 3] Seorang tua yang pikun 4] Seorang yang wafat pada masa fathroh…..orang yang mati pada masa fathroh berkata: Tuhanku tidak ada seorangpun dari rasulmu yang sampai kepadaku. Tuhan pun memutuskan keyakinan mereka lalu mengirimnya ke neraka. Maka barang siapa memasuki neraka [diantara mereka berempat, red], akan merasa dingin dan sejuk. Sedang yang tidak ingin memasukinya, tuhan akan menariknya [dari jalur neraka, red]. 2] Mereka masuk surga karena tidak berlaku syirik.

Sebagian menyebutkan karena mereka mengikuti agama nenek moyangnya nabi Ibrahim, “Alhanifiyyah” Tidak hanya kedua sebab tadi yang mengisyaratkan orang tua nabi layak menjadi penghuni surga, karena syafaat pun berlaku buat mereka. Rasulullah bersabda, “Mengapa banyak kaum mengatakan bahwa syafaatku tidak akan diperoleh keluargaku, sesungguhnya mereka akan mendapatkan syafaatku [Subulul Huda [1] : 298].

Wallahu A’lam bis-Showab. http://nabimuhammad.info/2010/10/abdullah-bin-abdul-muthalib/ Imam Al Hafizh Jalaluddin Abdurrahman Assuyuthiy berkata dalam kitabnya Rujuk Masaalikul Hunafa fii Abaway Musthofa hal. 68 dan Addarajul Muniifah fii Abaway Musthofa hal. 5 :

“Bahwa hadits riwayat Muslim abii wa abaaka finnaar (ayahku dan ayahmu di neraka), dan tidak diizinkannya nabi saw untuk beristighfar bagi ibunya telah MANSUKH dengan firman Allah swt : Al-Isra 15 “Dan kami tak akan menyiksa suatu kaum sebelum kami membangkitkan Rasul”.

Bagida Nabi saw bersabda kepada Sa’ad bin Abi Waqqash ra di peperangan Uhud ketika Nabi saw melihat seorang kafir membakar seorang Muslim, maka Rasul saw berkata pada Sa’ad :

“Panah dia, jaminan keselamatanmu adalah ayah dan ibuku!” Maka Sa’ad bin Abi Waqqash ra berkata dengan gembira : “Rasul saw mengumpulkan aku dengan nama ayah ibunya!”

(Shahih Bukhari hadits no.3442 Bab Manaqib Zubair bin Awam. Riwayat yang sama pada Shahih Bukhari hadits no. 3446 Bab Manaqib Sa’ad bin Abi Waqqash. Riwayat yang sama pada Shahih Bukhari hadits no. 3750 Bab Maghaziy. Riwayat yang sama pada Shahih Bukhari hadits no. 3751 Bab Maghaziy)

Manalah mungkin ……

Baginda Rasul memberikan jaminan kepada Sa’ad bin Abi Waqqash ra , kalau ayah bunda Baginda Rosululloh saw ada di Neraka ….. Karena Pada masa itu belum ada Rasul bagi bangsa Arab ……. Sedangkan Nabi Isa ‘Alaihi Sholatu Wassalam diutus bagi kaumnya saja . Seandainya ayah dan ibu nabi sudah dipastikan di neraka ,berarti ada satu doa dalam Al-Qur’an yg tidak diizinkan dibaca oleh NAbi Muhammad saw, yaitu : Ibrahim 41 رَبَّنَا اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ يَقُومُ الْحِسَابُ

Ya Tuhan kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapaku dan sekalian orang-orang mu’min pada hari terjadinya hisab (hari kiamat)”.

Apa tidak terasa aneh jika ada doa dalam al-Quran yg baginda Nabi saw tidak diizinkan sepanjang hidupnya membaca doa tersebut???

Wallahu a’lam .

sumber :Next Misionaris via http://answering-ff.org/board/ayah-ibu-nabi-di-neraka-t4055-15.html

Ulasan Lanjutan:

Pembuktian Bahwa Abdul Muthalib adalah beragama Avrahamic karena bertuhankan Allah yang Maha Esa. Jika Abdul Muthalib beragama Ibrahim maka Abdullah pun demikian karena tidak pernah terdengar dalam berbagai kisah-kisah sejarah maupun hadist serta ALQuran yang mengungkapkan bahwa Abdul Muthalib Sang Perawat Bait Tuhan menyembah batu berhala seperti yang dilakukan oleh kabilah-kabilah lainnya. As Sirah An Nabawiyah Fi Dhu’l Al Mashadir Al Ashliyah

Meskipun pada waktu hegemoni paganisme di masyarakat Arab sedemikian kuat, tetapi masih ada beberapa orang yang dikenal sebagai Al Hanafiyun atau Al Hunafa’. Mereka tetap berada dalam agama yang hanif, menyembah Allah dan tidak menyekutukanNya serta menunggu datangnya kenabian.

Diantara mereka adalah Qiss bin Sa’idah Al lyaadi, Zaid bin ‘Amru bin Nufail, Waraqah bin Naufal, Umayah bin Abi Shalt, Abu Qais bin Abi Anas, Khalid bin Sinan, An Nabighah Adz Dzubyani, Zuhair bin Abi Salma, Ka’ab bin Luai bin Ghalib, Umair bin Haidab Al Juhani, ‘Adi bin Zaid Al ‘Ibadi, penyair Zuhair bin Abi Salma, Abdullah Al Qudhaa’i, Ubaid bin Al Abrash Al Asadi, Utsman bin Al Huwairits, Amru bin Abasah Al Sulami, Aktsam bin Shaifi bin Rabaah dan Abdul Muthalib kakek Rasulullah Berikut ini adalah kisah Abdul Muthalib yang dikhabarkan oleh Allahyarham Buya Hamka dalam Tafsir AlAzhar:

“Tidakkah engkau perhatikan?” (pangkal ayat 1). Atau tidaklah engkau mendengar berita: “Bagaimana Tuhan engkau berbuat terhadap orang-orang yang mempunyai gajah?” (ujung ayat 1).

Pertanyaan Allah seperti ini adalah untuk memperkuat berita penting itu, yang ditujukan mulanya kepada Nabi SAW namun maksudnya ialah untuk ummat yang percaya seumumnya.

Kisah orang-orang yang mempunyai gajah ini adalah tersebut dengan selengkapnya di dalam kitab Sirah Ibnu Hisham, pencatat riwayat hidup Nabi Muhammad SAW yang terkenal.

Ketika itu Tanah Arab bahagian Selatan adalah di bawah kekuasaan Kerajaan Habsyi. Najasyi (Negus) menanam wakilnya di Arabia Selatan itu bernama Abrahah. Sebagaimana kita ketahui, Kerajaan Habsyi adalah pemeluk Agama Kristen. Untuk menunjukkan jasanya kepada Rajanya, Abrahah sebagai Wakil Raja atau Gubernur telah mendirikan sebuah gereja di Shan’aa diberinya nama Qullais.

Dibuatnya gereja itu sangat indahnya sehingga jaranglah akan tandingnya di dunia di masa itu. Setelah selesai dikirimnyalah berita kepada Najasyi: “Telah aku dirikan sebuah gereja, ya Tuanku! Dan aku percaya belumlah ada raja-raja sebelum Tuanku mendirikan gereja semegah ini. Namun hatiku belumlah puas orang Arab yang selama ini berhaji ke Makkah, aku palingkan hajinya ke gereja Tuanku itu.”

Berita isi surat yang pongah ini sampai ke telinga bangsa Arab, sehingga mereka gelisah. Maka bangkitlah marah seorang pemuka Arab karena tempat mereka berhaji akan dialihkan dengan kekerasan. Menurut Ibnu Hisyam orang itu ialah dari kabilah Bani Faqim in ‘Adiy. Maka pergilah dia sembunyi-sembunyi ke gereja itu, dia masuk ke dalam, dan di tengah-tengah gereja megah itu diberakinya. Setelah itu dia pun segera pulang ke negerinya.

Berita ini disampaikan orang kepada Abrahah. Lalu dia bertanya: “Siapakah yang membuat pekerjaan kotor ini?” Ada orang menjawab: “Yang berbuat kotor ini adalah orang yang membela rumah yang mereka hormati itu, tempat mereka tiap tahun naik haji, di Makkah. Setelah dia mendengar maksud Paduka Tuan hendak memalingkan haji orang Arab dari rumah yang mereka sucikan kepada gereja ini orang itu marah lalu dia masuk ke dalam gereja ini dan diberakinya, untuk membuktikan bahwa gereja ini tidaklah layak buat pengganti rumah mereka yang di Makkah itu.”

Sangatlah murka Abrahah melihat perbuatan itu, dan bersumpahlah dia; akan segera berangkat ke Makkah, untuk meruntuhkan rumah itu! Dikirimnya seorang utusan kepada Bani Kinanah, mengajak mereka mempelopori naik haji ke gereja yang didirikannya itu. Tetapi sesampai utusan itu ke negeri Bani Kinanah dia pun mati dibunuh orang.

Itu pun menambah murka dan sakit hati Abrahah. Maka disuruhnyalah tentara Habsyinya bersiap. Setelah siap mereka pun berangkat menuju Makkah. Dia sendiri mengendarai seekor gajah, diberinya nama Mahmud. Setelah tersiar berita tentara di bawah pimpinan Abrahah telah keluar hendak pergi meruntuh Ka’bah sangatlah mereka terkejut dan seluruh kabilah-kabilah Arab itu pun merasalah bahwa mempertahankan Ka’bah dari serbuan itu adalah kewajiban mereka. Salah seorang pemuka Arab di negeri Yaman bernama Dzu Nafar menyampaikan seruan kepada kaumnya dan Arab tetangganya supaya bersiap menangkis dan menghadang serbuan ini. Mengajak berjihad mempertahankan Baitullah Al-Haram.

Banyaklah orang datang menggabungkan diri kepada Dzu Nafar itu melawan Abrahah. Tetapi karena kekuatan tidak seimbang, Dzu Nafar kalah dan tertawan. Tatkala Abrahah hendak membunuh tawanan itu berdatang sembahlah dia: “Janganlah saya Tuan bunuh. Barangkali ada faedahnya bagi tuan membiarkan saya tinggal hidup.” Karena permohonannya itu tidaklah jadi Dzu Nafar dibunuh dan tetaplah Dzu Nafar dibelenggu. Abrahah memang seorang yang suka memaafkan.

Abrahah pun meneruskan perjalanannya. Sesampai di negeri orang Khats’am tampil pula pemimpin Arab bernama Nufail bin Habib Al-Khats’amiy memimpin dua kabilah Khats’am, yaitu Syahran dan Nahis dan beberapa kabilah lain yang mengikutinya. Mereka pun berperang pula melawan Abrahah, tetapi Nufail pun kalah dan tertawan pula. Ketika dia akan dibunuh dia pun berdatang sembah: “Tak usah saya tuan bunuh, bebaskanlah saya supaya saya menjadi petunjuk jalan tuan di negeri-negeri Arab ini.” Dua kabilah ini, Syahran dan Nahis adalah turut perintah Tuan. Permintaannya itu pun dikabulkan oleh Abrahah dan tetaplah dia berjalan di samping Abrahah menjadi penunjuk jalan, sehingga sampailah tentara itu di Thaif.

Sampai di Thaif pemuka Tsaqif yang bernama Mas’ud bin Mu’attib bersama beberapa orang pemuka lain datang menyongsong kedatangan Abrahah, lalu mereka menyatakan ketundukan.

Dia berkata: “Wahai Raja! Kami adalah hambasahaya Tuan, kami tunduk takluk ikut perintah, tidak ada kami bermaksud melawan Tuan. Di negeri ini memang ada pula sebuah rumah yang kami puja dan muliakan (yang dimaksudnya ialah berhala yang bernama Al-Laata). Namun kami percaya bukanlah berhala kami ini yang Tuan maksud akan diruntuhkan. Yang Tuan maksud tentulah Ka’bah yang di Makkah. Kami bersedia memberikan penunjuk jalan buat Tuan akan menuju negeri Makkah itu.” Lalu mereka berikan seorang penunjuk jalan bernama Abu Raghaal! Lantaran itu Abrahah pun melanjutkan perjalanan dengan Abu Raghaal sebagai penunjuk jalan, sampai mereka dapat istirahat di satu tempat bernama Mughammis, suatu tempat sudah dekat ke Makkah dalam perjalanan dari Thaif.

Sesampai mereka berhenti di Mughammis itu tiba-tiba matilah Abu Raghaal si penunjuk jalan itu. Kubur Abu Raghaal itu ditandai oleh orang Arab, maka setiap yang lalu lintas di dekat situ melempari kubur itu.

Setelah Abrahah berhenti dengan tentaranya di Mughammis itu diutusnyalah seorang utusan dari bangsa Habsyi ke negeri Makkah. Nama utusan itu Aswad bin Maqfud. Dia pergi dengan naik kuda. Setelah dia sampai di wilayah Makkah dirampasinyalah harta-benda penduduk Tihamah dari Quraisy dan Arab yang lain. Termasuk 200 ekor unta kepunyaai Abdul Muthalib bin Hasyim, yang ketika itu menjadi orang yang dituakan dan disegani dalam kalangan Quraisy. Melihat perbuatan dan perampasan yang dilakukan oleh patroli Abrahah yang bernama Aswad bin Maqfud itu naik darahlah orang Quraisy, orang Kinanah dan Kabilah Huzail yang semuanya hidup dikeliling Makkah yang berpusat kepada Ka’bah, sehingga mereka pun telah menyatakan bersiap hendak berperang melawan Abrahah.

Tetapi setelah mereka musyawaratkan dengan seksama, mereka pun mendapat kesimpulan bahwa tidaklah seimbang kekuatan mereka hendak melawan dengan besarnya angkatan perang musuh. Sebab itu perang tidaklah dijadikan.

Lalu Abrahah mengirim lagi perutusannya di bawah pimpinan Hunathah Al-Himyariy ke Makkah, hendak mencari hubungan dengan pemuka-pemuka Makkah dan ketua-ketuanya. Lalu utusan itu menyampaikan pesan Abrahah: “Kami datang ke mari bukanlah untuk memerangi kalian. Kedatangan kami hanyalah semata-mata hendak menghancurkan rumah ini.

Kalau kalian tidak mencoba melawan kami, selamatlah nyawa dan darah kalian.” Dan Abrahah berpesan pula: “Kalian memang penduduk Makkah tidak hendak melawan kami, suruhlah salah seorang ketua Makkah datang menghadapnya ke Mughammis!” Hunathah itu pun datanglah ke Makkah menyampaikan titah raja yang tegas itu. Setelah orang yang ditemuinya menyatakan bahwa pemimpin dan ketua mereka ialah Abdul Muthalib bin Hasyim.

Lalu datanglah dia menuju Abdul Muthalib dan menyampaikan titah raja yang tegas itu. Mendengar pesan raja itu berkatalah Abdul Muthalib:

“Demi Allah tidaklah kami bermaksud hendak berperang dengan dia. Kekuatan kami tidak cukup untuk memeranginya. Rumah ini adalah Rumah Allah, Bait Allah Al-Haram, dan Rumah Khalil Allah Ibrahim.

Kalau Allah hendak mempertahankan rumah-Nya dari diruntuhkan, itulah urusan Allah sendiri. Kalau dibiarkannya rumah-Nya diruntuh orang, apalah akan daya kami. Kami tak kuat mempertahankannya.”

Berkata Hunathah: “Kalau begitu tuan sendiri harus datang menghadap baginda. Saya diperintahkan mengiringkan Tuan.”

“Baiklah”, kata Abdul Muthalib. Maka beliau pun pergilah bersama Hunathah menghadap Raja. Beliau diiringkan oleh beberapa orang puteranya sehingga sampailah mereka ke tempat perhentian laskar itu. Lalu dinyatakannya keadaan Dzu Nafar yang tertawan itu, sebab dia adalah sahabat lamanya, sehingga dia pun diizinkan menemuinya dan masuk ke dalam tempat tahanannya.

Dia bertanya kepada Dzu Nafar: “Hai Dzu Nafar! Adakah pendapat yang dapat engkau berikan kepadaku tentang kemusykilan yang aku hadapi ini?”

Dzu Nafar menjawab: “Tidak ada pendapat yang dapat diberikan oleh seorang yang dalam tawanan raja, yang menunggu akan dibunuh saja, entah pagi entah petang. Tak ada nasihat yang dapat saya berikan. Cuma ada satu! Yaitu pawang gajah selalu menjaga gajah raja itu, Unais namanya. Dia adalah sahabatku. Saya akan mengirim berita kepadanya tentang halmu dan saya akan memesan bahwa engkau sahabatku supaya dia pun mengerti bahwa engkau ini orang penting. Moga-moga dengan perantaraannya engkau dapat menghadap raja. Supaya engkau dapat menumpahkan perasaanmu di hadapannya, dan supaya Unais pun dapat memujikan engkau di hadapan baginda. Moga-moga dia sanggup.”

“Baiklah”, kata Abdul Muthalib.

Lalu Dzu Nafar mengirim orang kepada Unais pengawal gajah raja. Kepada Unais itu Dzu Nafar memesankan siapa Adbul Muthalib. Bahwa dia adalah ketua orang Quraisy, yang empunya sumur Zamzam yang terkenal itu, yang memberi makan orang yang terlantar di tanah rendah dan memberi makan binatang buas di puncak-puncak bukit. Untanya 200 ekor dirampas hamba-hamba raja, dia mohon izin menghadap baginda, dan engkau usahakanlah supaya pertemuan itu berhasil.

“Saya sanggupi”, kata Unais. Maka Unais pun datanglah menghadap raja mempersembahkan darihal Abdul Muthali itu: “Daulat Tuanku, beliau adalah Ketua Quraisy.”

Dia telah berdiri di hadapan pintu Tuanku, ingin menghadap. Dialah yang menguasai Zamzam di Makkah. Dialah yang memberi makanan manusia di tanah rendah dan memberi makanan binatang buas di puncak gunung-gunung. Beri izinlah dia masuk, Tuanku. Biarlah dia menyampaikan apa yang terasa di hatinya.”

“Suruhlah dia masuk”, titah Raja.

Abdul Muthalib adalah seorang yang rupawan, berwajah menarik dan berwibawa, besar dan jombang. Baru saja dia masuk, ada sesuatu yang memaksa Abrahah berdiri menghormatinya dan menjemputnya ke pintuk khemah. Abrahah merasa tidaklah layak orang ini akan duduk di bawah dari kursinya.

Sebab itu baginda sendirilah yang turun dari kursi dan sama duduk di atas hamparan itu berdekat dengan Abdul Muthalib. Kemudian itu bertitahlah baginda kepada penterjemah: “Suruh katakanlah apa hajatnya!”

Abdul Muthalib menjawab dengan perantaraan penterjemah: “Maksud kedatanganku ialah memohonkan kepada raja agar unta kepunyaanku, 200 ekor banyaknya, yang dirampas oleh hambasahaya baginda, dipulangkan kepadaku.”

Raja menjawab dengan perantaraan penterjemah: “Katakan kepadanya: Mulai dia masuk aku terpesona melihat sikap dan rupanya, yang menunjukkan dia seorang besar dalam kaumnya. Tetapi setelah kini dia mengemukakan soal untanya 200 ekor yang dirampas oleh orang-orangku, dan dia tidak membicarakan sama-sekali, tidak ada reaksinya sama-sekali tentang rumah agamanya dan rumah agama nenek-moyangnya yang aku datang sengaja hendak meruntuhkannya, menjadi sangat kecil dia dalam pandanganku.” Abdul Muthalib menjawab:

“Saya datang ke mari mengurus unta itu, karena yang empunya unta itu ialah aku sendiri. Adapun soal rumah itu, memang sengaja tidak saya bicarakan. Sebab rumah itu ada pula yang empunya, yaitu Allah. Itu adalah urusan Allah.” Dengan sombong Abrahah menjawab: “Allah itu sendiri tidak akan dapat menghambat maksudku!”

Abdul Muthalib menjawab: “Itu terserah Tuan, aku datang ke mari hanya mengurus untaku.”

Unta yang 200 ekor itu pun disuruh dikembalikan oleh Abrahah. Abdul Muthalib pun segeralah kembali ke Makkah, memberitahukan kepada penduduk Makkah pertemuannya dengan Abrahah. Lalu dia memberi nasihat supaya seluruh penduduk Makkah segera meninggalkan Makkah, mengelakkan diri ke puncak-puncak bukit keliling Makkah atau ke lurah-lurah, agar jangan sampai terinjak terlindis oleh tentara yang akan datang mengamuk.

Setelah itu, dengan diiringkan oleh beberapa pemuka Quraisy, Abdul Muthalib pergi ke pintu Ka’bah dipegangnya teguh-teguh gelang pada pintunya lalu mereka berdoa bersama-sama menyeru Allah, memohon pertolongan, dan agar Allah memberikan pembalasannya kepada Abrahah dan tentaranya. Sambil memegang gelang pintu Ka’bah itu dia bermohon:

Ya Tuhanku! Tidak ada yang aku harap selain Engkau! Ya Tuhanku! Tahanlah mereka dengan benteng Engkau! Sesungguhnya siapa yang memusuhi rumah ini adalah musuh Engkau. Mereka tidak akan dapat menaklukkan kekuatan Engkau.

Setelah selesai bermunajat kepada Tuhan dengan memegang gelang pintu Ka’bah itu, Abdul Muthalib bersama orang-orang yang mengiringkannya pun mengundurkan diri, lalu pergi ke lereng-lereng bukit, dan di sanalah mereka berkumpul menunggu apakah yang akan diperbuat Abrahah terhadap negeri Makkah bilamana dia masuk kelak. Setelah pagi besoknya bersiaplah Abrahah hendak memasuki Makkah dan dipersiapkanlah gajahnya.

Gajah itu diberinya nama Mahmud. Dan Abrahah pun telah bersiap-siap hendak pergi meruntuhkan Ka’bah, dan kalau sudah selesai pekerjaannya itu kelak dia bermaksud hendak segera pulang ke Yaman.

Setelah dihadapkannya gajahnya itu menuju Makkah, mendekatlah orang tawanan yang dijadikan penunjuk jalan itu, dari Kabilah Khats’am yang bernama Nufail bin Habib itu. Dia dekati gajah tersebut, lalu dipegangnya telinga gajah itu dengan lemah-lembutnya dan dia berbisik: “Kalau engkau hendak dihalau berjalan hendaklah engkau tengkurup saja, hai Mahmud! Lebih cerdik bila engkau pulang saja ke tempat engkau semula di negeri Yaman. Sebab engkau sekarang hendak dikerahkan ke Baladillah Al-Haram (Tanah Allah yang suci lagi bertuah).”

Selesai bisikannya itu dilepaskannyalah telinga gajah itu. Dan sejak mendengar bisikan itu gajah tersebut terus tengkurup, tidak mau berdiri. Nufail bin Habib pun pergilah berjalan cepat-cepat meninggalkan tempat itu, menuju sebuah bukit.

Maka datanglah masa akan berangkat. Gajah disuruh berdiri tidak mau berdiri. Dipukul kepalanya dengan tongkat penghalau gajah yang agak runcing ujungnya, supaya dia segera berdiri. Namun dia tetap duduk tak mau bergerak. Diambil pula tongkat lain, ditonjolkan ke dalam mulutnya supaya dia berdiri, namun dia tidak juga mau berdiri. Lalu ditarik kendalinya dihadapkan ke negeri Yaman; dia pun segera berdiri, bahkan mulai berjalan kencang.

Lalu dihadapkan pula ke Syam. Dengan gembira dia pun berjalan cepat menuju Syam. Lalu dihadapkan pula ke Timur, dia pun berjalan kencang. Kemudian dihadapkan dia ke Makkah, dia pun duduk kembali, tidak mau bergerak, Padahal Abrahah sudah siap, tentaranya pun sudah siap.

Dalam keadaan yang demikian itu, demikian uraian Ibnu Hisyam dalam Siirahnya nampaklah di udara beribu-ribu ekor burung terbang menuju mereka. Datangnya dari jurusan laut. Burung itu membawa tiga butir batu; sebutir di mulutnya dan dua butir digenggamnya dengan kedua belah kakinya. Dengan serentak burung-burung itu menjatuhkan batu yang di bawanya itu ke atas diri tentara-tentara yang banyak itu. Mana yang kena terpekik kesakitan karena saking panasnya. Berpekikan dan berlarianlah mereka, tumpang siur tidak tentu arah, karena takut akan ditimpa batu kecil-kecil itu yang sangat panas membakar itu. Lebih banyak kena daripada yang tidak kena.

Semua menjadi kacau-balau dan ketakutan. Mana yang kena terkaparlah jatuh, dan yang tidak sampai kena hendak segera lari kembali ke Yaman. Mereka cari Nufail bin Habib untuk menunjuki jalan menuju Yaman, namun dia tidak mau lagi, malahan dia bersyair: “Kemana akan lari, Allahlah yang mengejar, Asyram (Abrahah) yang kalah, bukan dia yang menang.”

Kucar-kacirlah mereka pulang. Satu demi satu mana yang kena lontaran batu itu jatuh. Dan yang agak tegap badannya masih melanjutkan pelarian menuju negerinya, namun di tengah jalan mereka berjatuhan juga. Adapun Abrahah sendiri yang tidak terlepas dari lontaran batu itu masih sempat naik gajahnya menuju Yaman, namun di tengah jalan penyakitnya bertambah membahayakan. Terkelupas kulitnya, gugur dagingnya, sehingga sesampainya di negeri Yaman boleh dikatakan sudah seperti anak ayam menciap-ciap. Lalu mati dalam kehancuran.

Maka terkenallah tahun itu dengan nama “Tahun Gajah”. Menurut keterangan Nabi SAW sendiri dalam sebuah Hadis yang shahih, beliau dilahirkan adalah dalam tahun gajah itu. Demikianlah disebutkan oleh Al-Mawardi di dalam tafsirnya. Dan tersebut pula di dalam kitab I’lamun Nubuwwah, Nabi SAW dilahirkan 12 Rabiul Awwal, 50 hari saja sesudah kejadian bersejarah kehancuran tentara bergajah itu.

Setelah Nabi kita SAW berusia 40 tahun dan diangkat Allah menjadi Rasul SAW masih didapati dua orang peminta-minta di Makkah, keduanya buta matanya. Orang itu adalah sisa dari pengasuh-pengasuh gajah yang menyerang Makkah itu.

“Bukankah telah Dia jadikan daya upaya mereka itu pada sia-sia?” (ayat 2). Usaha yang begitu sombong dan besar, jawaban Abrahah kepada Abdul Muthalib, bahwa Allah sendiri tidak akan sanggup bertahan kalau dia datang menyerang. Segala maksudnya hendak menghancurkan itu sia-sia belaka, dan gagal belaka.

Tersebut dalam riwayat bahwa Abdul Muthalib yang tengah meninjau dari atas bukit-bukit Makkah apa yang akan dilakukan oleh tentara bergajah itu melihat burung berduyun-duyun menuju tentara yang hendak menyerbu Makkah itu.

Kemudian hening tidak ada gerak apa-apa. Lalu diperintahnya anaknya yang paling bungsu, Abdullah (ayah Nabi kita Muhammad SAW) pergi melihat-lihat apa yang telah kejadian, ada apa dengan burung-burung itu dan ke mana perginya.

Maka dilakukannyalah perintah ayahnya dan dia pergi melihat-lihat dengan mengendarai kudanya. Tidak beberapa lamanya dia pun kembali dengan memacu kencang kudanya dan menyingsingkan kainnya. Setelah dekat, dengan tidak sabar orang-orang bertanya: “Ada apa, Abdullah?”

Abdullah menjawab: “Hancur-lebur semua!” Lalu diceriterakannya apa yang dilihatnya, “Bangkai bergelimpangan dan ada yang masih menarik-narik nafas akan mati dan sisanya telah lari menuju negerinya.”

Maka berangkatlah Abdul Muthalib dengan pemuka-pemuka Quraisy itu menuju tempat tersebut, tidak berapa jauh dari dalam kota Makkah. Mereka dapati apa yang telah diceriterakan Abdullah bin Abdul Muthalib itu. Bahkan 200 ekor unta Abdul Muthalib dan harta-benda yang lain, dan harta-benda yang ditinggalkan, kucar-kacir oleh tentara yang hancur itu.

Baik kuda-kuda kendaraan, ataupun pakaian-pakaian perang yang mahal-mahal, alat senjata peperangan, pedangnya, perisainya dan tombaknya dan emas perak banyak sekali. Maka sepakatlah kepala-kepala Quraisy itu memberikan kelebihan pembahagian yang banyak untuk Abdul Muthalib, sebab dia dipandang sebagai pemimpin yang bijaksana. Dengan keahliannya dapat menghadapi musuh yang begitu besar dan begitu sombong. Sebagai kita katakan tadi, 50 hari sesudah kejadian itu, Nabi Muhammad SAW pun lahirlah ke dunia.

Tetapi ayahnya dalam perjalanan ke Yatsrib, kampung dari keluarga ayahnya. Di sana dia meninggal sebelum puteranya lahir. Berkata Ibnu Ishaq: “Setelah penyerangan orang Habsyi terhadap Makkah itu digagalkan dan dihancurkan oleh Allah sendiri, bertambah penghargaan dan penghormatan bangsa Arab kepada Quraisy. Sehingga mereka katakan: ‘Orang Quraisy itu ialah Keluarga Allah. Allah berperang untuk mereka.’”

“Dan Dia telah mengirimkan ke atas mereka burung berduyun-duyun.” (ayat 3). Burung-burung itu berduyun datang dari laut. Ahli-ahli tafsir bicara macam-macam tentang keadaan burung itu. Namun apa jenis burung tidak penting kita perkajikan. Sembarang burung pun dapat dipergunakan Tuhan untuk melakukan kehendak-Nya. Sedangkan tikus bisa merusakkan sebuah negeri dengan menyuruh tikus itu memakan padi yang sedang mulai masak di sawah. Sedangkan belalang berduyun-duyun beratus ribu dapat membuat satu negeri jadi lapar, apatah lagi burung berduyun-duyun (ababil).

“Yang melempari mereka dengan batu siksaan?” (ayat 4). Batu yang mengandung azab, batu yang mengandung penyakit. Ada tafsir mengatakan bahwa batu itu telah direndang terlebih dahulu dengan api neraka. Syaikh Muhammad Abduh mencoba mentakwilkan bahwa batu itu membawa bibit penyakit cacar. Menurut keterangan Ikrimah sejak waktu itulah terdapat penyakit cacar di Tanah Arab. Ibnu Abbas mengatakan juga bahwa sejak waktu itu adanya penyakit cacar di Tanah Arab.

Dapat saja kita menerima penafsiran ini jika kita ingat bahwa membawa burung atau binatang dari satu daerah ke daerah yang lain, walaupun satu ekor, hendaklah terlebih dahulu diperiksakan kepada doktor, kalau-kalau burung itu membawa hama penyakit yang dapat menular. Demikian juga dengan tumbuh-tumbuhan. Demikian seekor burung, bagaimana kalau beribu burung?

“Lalu Dia jadikan mereka seperti daun kayu yang dimakan ulat.” (ayat 5). Laksana daun kayu dimakan ulat, memang adalah satu perumpamaan yang tepat buat orang yang diserang penyakit cacar (ketumbuhan), seluruh badan akan ditumbuhi oleh bisul yang panas, malahan sampai ada yang tumbuh dalam mata. Telapak kaki yang begitu tebal pun tidak terlepas, dan muka pun akan coreng-moreng dari bekasnya. Sebagai yang telah penulis alami (1923).

Al-Qurthubi menulis dalam tafsirnya: “Hikayat tentara bergajah ini adalah satu mu’jizat lagi dari Nabi kita, walaupun beliau waktu itu belum lahir.” Dan tidak ada orang yang akan dapat melupakan bahwa nenek-kandungnya mengambil peranan penting pada kejadian ini.

Dari kisah diatas tergambar jelaslah bahwa Abdul Muthalib menganut ajaran yang hanif sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh Ibrahim. Begitu pula dengan Abdullah yang merupakan putra kesayangan dari Abdul Muthalib sudah barang tentu mengikut ajaran yang dianut oleh Ayahandanya yang merupakan pembesar Quraisy yang termasyur keseluruh penjuru. Apatah lagi Siti Aminah yang merupakan wanita shalihah dan istri dari Abdullah bin Abdul Muthalib sudah barang tentu mengikut ajaran yang dianut suaminya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar